*Ketika Nakes Dipukuli dan Dunia Diam*
*Sutrisno*, Ketua IDI Wilayah Jawa Timur / Waketum PB IDI
*“We are all self-absorbed, locked in our own worlds. It is a therapeutic and liberating experience to be drawn outside ourselves and into the world of another.”* -Robert Greene, The Laws of Human Nature-
– Sebuah kalimat bijak buat manusia yang beradab -
Tatkala bangun pagi dan melihat medsos, tersontak karena kejengkelan yang memuncak. Seorang perawat dipukuli banyak orang laksana maling dan pencopet tertangkap tangan.
Saya marah. Nakes ini sedang mati - matian menolong dan mengupayakan yang terbaik, namun balasannya justru bogem mentah. Perilaku biadap lagi ditunjukkan oleh orang – orang itu, saat perawat kerja keras mengupayakan yang terbaik bagi keluarganya.
Bukan marah yang meledak tanpa arah, tetapi marah yang lahir dari kelelahan moral. Marah yang datang setelah terlalu banyak kabar buruk dikunyah diam-diam.
Seorang perawat IGD dianiaya secara fisik oleh keluarga pasien yang baru beberapa jam lalu. Seorang dokter IGD dipukul. Seorang dokter spesialis penyakit dalam dicekik lehernya. Seorang dokter anestesi menerima kekerasan fisik dan verbal. Dan masih banyak lagi kisah yang tidak sempat ditulis, tidak sempat dibela, tidak sempat diberi keadilan.
Berapa banyak lagi tenaga kesehatan yang harus dipukul sebelum kita berhenti pura-pura tidak melihat?
Ini bukan insiden.
Ini bukan emosi sesaat.
Ini adalah pola kebiadaban yang dibiarkan tumbuh.
IGD adalah ruang paling jujur dari peradaban kita. Di sanalah kepanikan bertemu harapan, dan manusia memperlihatkan wajah aslinya. Namun kini, ruang itu berubah menjadi arena pelampiasan amarah. Tangan yang terlatih menyelamatkan nyawa justru menjadi sasaran pukulan. Leher yang menopang ilmu dan tanggung jawab dicekik. Kata-kata hinaan dilontarkan seperti sampah.
Ini bukan sekadar kekerasan.
Ini penghinaan terhadap kemanusiaan.
Saya bosan mendengar pembenaran: “Keluarga sedang emosi.”
Emosi bukan alasan memukul.
Emosi bukan pembenaran mencekik.
Emosi bukan lisensi untuk melukai orang yang sedang menolong.
Jika emosi dijadikan alasan, maka hukum telah runtuh, dan nurani telah mati.
Mari kita jujur. Tenaga kesehatan bekerja di kondisi yang nyaris mustahil. Ruangan penuh. Pasien menumpuk. Waktu terbatas. Keputusan harus diambil dalam hitungan detik dan menit. Mereka bukan mesin. Mereka bukan Tuhan. Mereka manusia yang berdiri di garis paling depan ketika semua orang panik.
Namun alih-alih dilindungi, mereka justru dijadikan sasaran.
Alih-alih dibantu, mereka dipukuli.
Alih-alih dihormati, mereka diperlakukan seperti musuh.
Ini sudah keterlaluan.
Saya jengkel karena kekerasan ini terus berulang, dan responsnya selalu lemah. Pelaku sering dilepaskan dengan dalih damai. Luka ditutup dengan permintaan maaf setengah hati. Trauma nakes dibiarkan membusuk. Seolah-olah memukul perawat atau dokter adalah kesalahan kecil, bukan kejahatan serius.
Padahal setiap pukulan adalah pesan:
*"Nyawamu tidak sepenting nyawaku.”*
Saya bertanya dengan suara jujur:
Jika dokter dan perawat saja tidak aman, siapa lagi yang aman?
Jika penolong dipukuli, apa arti rumah sakit?
Jika kekerasan dibiarkan, apa arti negara?
Bangsa ini tidak kekurangan hukum. Bangsa ini kekurangan keberanian dan keseriusan untuk menegakkannya.
Kekerasan ini meninggalkan bekas yang tidak terlihat. Nakes menjadi curiga. Menjadi defensif. Menjadi dingin. Bukan karena mereka kehilangan empati, tetapi karena mereka sedang bertahan hidup. Mereka menolong sambil mengamati pintu. Mereka berbicara sambil menimbang risiko. Mereka bekerja dengan rasa takut.
Dan ketika rasa takut itu tumbuh, kemanusiaan ikut tergerus.
Inilah tragedi sesungguhnya. Kekerasan tidak hanya melukai tubuh nakes, tetapi merusak jantung pelayanan kesehatan. Ia memutus aliran empati, membuat hubungan dokter–pasien berubah menjadi hubungan curiga dan saling ancam.
Ada kata bijak yang terasa sangat pahit hari ini:
*"Bangsa yang memukul penolongnya sedang menandatangani kehancurannya sendiri.”*
Saya percaya itu. Karena ketika dokter dan perawat tidak lagi aman, maka yang akan datang adalah dua kemungkinan buruk: *nakes pergi atau nakes berhenti peduli. Keduanya sama-sama bencana.*
Siapa yang mau berjaga malam jika pulang dengan luka?
Siapa yang mau menolong pasien kritis jika balasannya adalah cekikan?
Siapa yang mau tetap lembut jika dunia terus memukul?
Secara spiritual, saya yakin satu hal: *setiap kekerasan adalah kegagalan jiwa. Dan kekerasan terhadap nakes adalah kegagalan kolektif kita sebagai masyarakat.*
Kita gagal mendidik empati. Gagal menahan amarah. Gagal menghormati hidup.
Kita lupa bahwa tenaga kesehatan adalah manusia dengan keluarga, dengan tubuh yang bisa sakit, dengan hati yang bisa hancur.
Dan hari ini, saya tidak ingin diam.
Saya ingin mengatakan dengan lantang:
*Hentikan kekerasan terhadap tenaga kesehatan. Tegakkan hukum tanpa kompromi. Lindungi mereka yang menjaga hidup kita.*
Karena jika profesi menolong manusia berubah menjadi profesi yang harus siap dipukuli, maka kita sedang hidup di masyarakat yang sakit—jauh lebih sakit daripada pasien mana pun.
Saya menutup tulisan ini dengan kalimat yang lahir dari kemarahan dan cinta pada kemanusiaan:
*“Jika kita membiarkan penolong dipukul hari ini, besok tidak akan ada lagi yang datang ketika kita membutuhkan pertolongan.”*
Dan saat itu tiba, jangan salahkan siapa pun.
Malang, 29 Desember 2025
Sumber Wag idi Bjn

No comments:
Post a Comment